kisahsalman al farisi dan abu darda. Home / Keywords / kisah salman al farisi dan abu darda. Filter By. Updating status. All Ongoing Completed. Sort By. Popular Recommendation Rates Updated. Destinada al Alfa Jessicahall Novela ligera Matrimonio Dulce Independiente Inteligente crecimiento del personaje destino.
Namunsiapa sangka, dalam keadaan patah hati Salman al-Farisi bukan justru membenci sahabatnya. Ia malah ikut berbahagia. Dengan ikhlas dan tegar, Salman melepaskan harapannya seraya berkata,"Semua mahar dan nafkah yang sudah aku persiapkan ini aku serahkan kepada Abu Darda. Dan aku pula yang akan menjadi saksi pernikahan mereka".
KajianIlmiahMasjid Al-Ikhlas, Dukuh Bima26 Sya'ban 1439 H / 12 Mei 2018Ust. DR. Firanda Andirja, M.AKisah Abu Darda & Salman Al-FarisiYou can also see our v
Semuanyaia sedekahkan. Ia lebih suka makan dan minum dari hasil tangannya sendiri. Abu al-Faraj bin al-Jauzi dalam kitabnya Bahr al-Dumu', menceritakan kisah kezuhudan Salman sebagai berikut. Sore itu Salman melaksanakan pernikahan dengan gadis pujaan hatinya dari keluarga berada. Shawwab namanya. Ia adalah gadis keturunan Kindah.
TemanTidur - Kisah Salman Al Farisi dan Abu Darda, Kisahnya Salman Al Farisi bagian ke 4 (sahabat nabi). Video ini menceritakan perdebatan antara Salman Al
Vay Tiền Nhanh Ggads. SALMAN Al-Farisi, sahabat yang terkenal dengan idenya untuk membuat parit dalam Perang Khandaq dipersaudarakan dengan Abu Al-Darda’ dari suku Khazraj, oleh Rasulullah. Sebelum memeluk Islam, Abu Al-Darda’ adalah seorang pedagang. Suatu ketika Salman Al-Farisi berkunjung ke rumah saudaranya yang kelak diangkat oleh Umar bin Al-Khaththab sebagai seorang hakim di Damaskus, Suriah. Kala itu, Abu Al-Darda’ belum pulang. Begitu dipersilakan masuk ke dalam rumah, dia melihat istri saudaranya tersebut berpakaian lusuh. Melihat hal itu, Salman pun bertanya kepada Khairah, istri Abu Al-Darda’, “Mengapa engkau seperti ini?” BACA JUGA Abu Darda Redam Hawa Nafsu hingga Memperoleh Mutiara Batin “Saudaramu, Abu Al-Darda, kini tak lagi memerlukan dunia,” jawab Umm Al-Darda dengan suara pelan. Ketika Abu Al-Darda datang, makanan pun dihidangkan kepada Salman Al-Farisi. Abu Al-Darda kemudian berkata kepada saudaranya yang lahir di Isfahan itu, “Saudaraku, silakan nikmati makanan ini sendiri. Aku sedang berpuasa sunnah.” “Saudaraku, aku takkan makan selama engkau tak makan bersamaku!” jawab Salman, Abu Al-Darda pun makan untuk menghormati tamunya. Ketika malam datang dan kemudian semakin kelam, Abu Al-Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat hal itu, Salman pun berkata kepadanya, “Saudaraku! Tidurlah!” Abu Al-Darda pun menuruti permintaan saudaranya itu. Kemudian, ketika malam semakin malam, Abu Al-Darda bangun lagi untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat saudaranya yang memeluk Islam pada tahun terjadinya Perang Badar tersebut hendak melaksanakan shalat tahajud, Salman sekali lagi mencegahnya dan memintanya tidur. Permintaan itu dipenuhi Abu Al-Darda’ untuk menghormati tamunya. Ketika malam hampir tiba di akhir perjalanannya, Salman Al-Farisi bangun dan berkata kepada Abu Al-Darda’, “Sekarang, mari kita shalat tahajud berjamaah!” BACA JUGA Amalan Terbaik, Terbersih di Sisi Allah yang Disampaikan Abu Darda Mereka berdua lantas melaksanakan shalat tahajud berjamaah. Selepas shalat, Salman kemudian berkata kepada Abu Al-Darda’, ”Saudaraku! Tuhanmu punya hak yang harus engkau penuhi. Istrimu juga punya hak yang harus engkau penuhi. Karena itu, penuhilah hak masing-masing secara seimbang!” Merasa kurang yakin dengan masukan Salman Al-Farisi, keesokan harinya Abu Al-Darda’ menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan mengadukan hal itu. Mendengar keluhan Abu Al-Darda’ tersebut, beliau berkata, “Salman memang benar.” [] Sumber Rumah Cinta Rasulullah/ Muhammad Rofi Usmani/ Mizan/ 2007
loading...Salman Al-Farisi disebut Rasulullah sebagai Ahlul Bait, sementara Ali bin Abu Thalib memberi gelar Luqmanul Hakim. Ilustrasi/Ist Salman Al-Farisi adalah anak seorang bangsawan, bupati, di daerah kelahirannya, Persia. Ia sempat tertipu di tengah perjalanannya mencari kebenaran Illahi. Ia diperjualbelikan sebagai budak. Beliau terdampar di Madinah, menjadi budak orang Yahudi . Beliau masuk Islam dan Allah membebaskan dirinya. Baca Juga Sebagaimana lelaki normal lainnya, pria bertubuh tegap ini pun sempat jatuh cinta. Sayang, cintanya bertepuk sebelah tangan. Hati Salman kepincut perempuan Anshar. Yakni perempuan asli kelahiran Madinah. Di kalangan kaum Anshar , Salman sejatinya dianggap sebagai keluarga mereka. Demikian juga kaum Muhajirin . Pendatang dari Mekkah ini juga menganggap Salman bagian dari kaum waktu perang Khandaq, saat Salman menelorkan ide cerdas membangun parit untuk menahan pasukan kafir Quraish, kaum Anshar mengklaim Salman sebagai kaum mereka. “Salman dari golongan kami,” ujar kaum Anshar. Pernyataan kaum Anshar ini direspon kaum Muhajirin. Mereka berdiri dan berkata, “Tidak. ia dari golongan kami!” Rasulullah SAW pun akhirnya memanggil mereka yang bersengketa itu, “Salman adalah golongan kami, Ahlul Bait. Dan memang selayaknyalah jika Salman mendapat kehormatan seperti itu,” ujar Rasulullah SAW. Baca Juga Ali bin Abi Thalib memberi gelar Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”. Dalam kalbu para sahabat umumnya, pribadi Salman telah mendapat kedudukan mulia dan derajat Salman yang tinggi itu tidak serta merta menjadi magnet bagi perempuan. Dan itu yang tidak diketahui Salman. Cintanya DitolakPada suatu ketika, Salman Al Farisi bermaksud melamar gadis pujaan hatinya itu. Dia mengajak sahabatnya, Abu Darda, untuk menemaninya. Abu Darda merasa tersanjung dengan ajakan Salman itu. Ia pun memeluk Salman Al Farisi dan bersedia segala sesuatunya dianggap beres, keduanya pun mendatangi rumah sang gadis. Selama perjalanan, mereka tampak gembira. Setiba di tujuan, keduanya diterima dengan tangan terbuka oleh kedua orang tua wanita Anshar tersebut. Baca Juga Abu Darda menjadi juru bicara. Ia memperkenalkan dirinya dan juga Salman Al Farisi. Ia menceritakan mengenai Salman Al Farisi yang berasal dari Persia. Abu Darda juga menceritakan mengenai kedekatan Salman Al Farisi yang tak lain adalah sahabat Rasulullah SAW. Dan terakhir adalah maksudnya untuk mewakili sahabatnya itu untuk maksud mereka melamar putrinya, membuat tuan rumah merasa sangat terhormat. Mereka senang akan kedatangan dua orang sahabat Rasulullah. Hanya saja, sang ayah tidak serta merta menerima lamaran itu. Sebagaimana diajarkan Rasulullah, sang ayah harus bertanya dulu bagaimana pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Karena jawaban itu adalah hak dari putrinya secara ayah pun lalu memberikan isyarat kepada istri dan juga putrinya yang berada di balik hijabnya. Ternyata sang putri telah mendengar percakapan sang ayah dengan Abu Darda. Gadis ini juga telah memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Berdebarlah jantung Salman Al Farisi saat menunggu jawaban dari balik tambatan hatinya. Abu Darda pun menatap gelisah pada wajah ayah si gadis. Dan tak begitu lama semua menjadi jelas ketika terdengar suara lemah lembut keibuan sang bunda yang mewakili putrinya untuk menjawab pinangan Salman Al Farisi.“Mohon maaf kami perlu berterus terang,” kalimat itu membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda berdebar tak sabar. Perasaan tegang dan gelisah pun menyeruak dalam diri mereka berdua.“Karena kalian berdua yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda juga memiliki keinginan yang sama seperti keinginan Salman Al Farisi,” katanya.
ilustrasi suami istri harmonis © annamis photography ilustrasi suami istri harmonis © annamis photography Sengaja, kata mengharmoniskan’ di sini memakai tanda petik. Sebab, maksudnya bukan berarti rumah tangga sahabat tidak harmonis atau ada percekcokan/perselisihan. Melainkan, kehidupan asmara di rumah tangga sahabat tersebut kurang bergairah.’ Kisah ini bermula saat Salman Al Farisi berkunjung ke rumah Abu Darda’. Seperti diketahui, Salman Al Farisi dan Abu Darda’ dipersaudarakan oleh Rasulullah pada awal hijrah. Telah beberapa lama Salman tidak mengunjungi saudaranya itu. Dan kali ini, saat ia berada di rumahnya, ia melihat Ummu Darda’ mengenakan pakaian yang lusuh. Penampilannya tidak sedap dipandang. “Mengapa engkau tidak berhias?” tanya Salman yang merasa aneh dengan dengan penampilan istri Abu Darda’ itu. “Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak butuh pada dunia,” jawab Ummu Darda’. Jawaban itu singkat, namun bagi seorang yang cerdas sekelas Salman yang terkenal dengan ide strategi Khandaq sewaktu Madinah diserang pasukan Ahzab, kalimat itu cukup bisa dimengerti. Bahwa Abu Darda’ sangat serius beribadah. Bahwa Abu Darda’ menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hingga ia tak lagi mengurus penampilannya. Dan ia juga kurang memberikan perhatian dan memenuhi hak batin istrinya. Beberapa saat kemudian, datang Abu Darda’. Dua sahabat yang luar biasa ini pun berjumpa. Sebagai bentuk penghormatan kepada tamu sebagaimana sabda Nabi “man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri falyukrim dhaifahu” barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya, keluarga Abu Darda’ pun menghidangkan makanan untuk Salman. “Makanlah wahai Salman. Maaf, aku sedang puasa,” kata Abu Darda’. “Aku tidak akan makan jika engkau tidak makan,” jawab Salman, tegas. Abu Darda’ pun luluh. Ia membatalkan puasa sunnahnya. Mereka pun makan berdua. Malamnya, Salman menginap di rumah Abu Darda. Ketika dilihatnya Abu Darda bangun hendak shalat malam, Salman menyuruhnya tidur lagi. “Tidurlah dulu,” kata Salman. Saat malam mendekati akhir, barulah Salman memberitahukan Abu Darda’ untuk shalat malam. Sebelum pulang, Salman berpesan kepada Abu Darda’ “Sesungguhnya, bagi Rab-mu ada hak, dan atas badanmu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.” Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Salman benar.” Demikianlah teladan mulia dari generasi paling mulia, generasi sahabat radhiyallahu anhum. Mereka saling mengingatkan, agar hidup istiqamah di bawah naungan Al Qur’an dan Sunnah. Sekaligus hidup seimbang sesuai pedoman keduanya. Jika dengan alasan ibadah saja kita tidak boleh melupakan hak-hak istri, bagaimana dengan orang-orang yang melupakan hak-hak istrinya karena alasan kerja dan mengejar karir? Padahal ekonominya sudah mapan dan pekerjaan itu sejatinya bisa didelegasikan. Bagaimana pula orang-orang yang sering tak bisa bertemu anaknya karena gila kerja’ dan mengejar jabatan? Saat ia pulang anak-anaknya telah tidur dan saat ia berangkat anak-anaknya belum bangun. Tidak sedikit keluarga yang mengalami masalah, sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi. Melainkan karena kurangnya kebersamaan. Kurangnya waktu bertemu dan bermesraan. Kurangnya pehatian. Akhirnya sering terjadi miskomunikasi, sering terjadi kesalahpahaman. Hal kecil menjadi masalah besar. [Tim Redaksi
Salman telah dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan Abu Darda’. Suatu nasehat berharga yang disampaikan Salman pada Abu Darda’ dan wejangan ini diiyakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah supaya Abu Darda’ tidak hanya sibuk ibadah, sampai lupa istirahat dan melupakan keluarganya. Dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdullah berkata, آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – صَدَقَ سَلْمَانُ » “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang ziarah ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ istri Abu Darda’ dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.” Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali. Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.” Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” HR. Bukhari no. 1968. Beberapa faedah dari hadits di atas 1- Disyari’atkan mempersaudarakan sesama muslim karena Allah. 2- Disunnahkan pula bertandang berziarah ke saudara muslim dan bermalam di sana. 3- Bolehnya berbicara dengan wanita non mahram ketika ada hajat. 4- Boleh bertanya perkara yang mengandung maslahat walaupun tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan orang yang bertanya. 5- Sesama muslim hendaklah saling menasehati apalagi ketika melihat saudaranya keliru atau lalai dari ketaatan. 6- Keutamaan shalat sunnah di akhir malam. 7- Disunnahkan bagi istri untuk berhias diri bagi suaminya. 8- Istri memiliki hak yang mesti dijalani suami yaitu hubungan interaksi yang baik, termasuk pula dalam hal hubungan intim, jatah istri pun mesti diberikan. 9- Bolehnya melarang melakukan perkara sunnah jika sampai terjerumus dalam kekeliruan atau lalai melakukan hal yang wajib. 10- Hadits ini menunjukkan larangan menyusah-nyusahkan memberatkan diri dalam ibadah. 11- Bolehnya membatalkan puasa sunnah. Inilah pendapat jumhur mayoritas ulama dan tidak ada kewajiban qodho’ jika puasa tersebut ditinggalkan. Demikian faedah yang penulis ringkaskan dari penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari. Sekian sajian singkat dari faedah hadits di atas. Moga bermanfaat bagi pengunjung sekalian. Baca Juga Petuah Abu Qilabah, Balasan Karena Tingkahmu Sendiri Referensi Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H, 4 212. Selesai disusun selepas Ashar sehabis safar dari Surabaya, 26 Syawal 1434 H Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul Artikel Silakan follow status kami via Twitter RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Kunjungi tiga web kami lainnya 1 Pesantren DarushSholihin, 2 Bisnis Pesantren di 3 Belajar tentang Plastik
SALMAN Al Farisi adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Persia. Salman sengaja meninggalkan kampung halamannya untuk mencari cahaya kebenaran. Kegigihannya berbuah hidayah Allah dan pertemuan dengan Nabi Muhammad saw di kota Madinah. Beliau terkenal dengan kecerdikannya dalam mengusulkan penggalian parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Mekah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam perang Khandaq. Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar. Tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan suci. Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah, pelamaran. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’. ”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. . ,” girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. ”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.,” fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah,” menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.” Keterusterangan yang di luar perkiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Namun mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini ”Allahu Akbar!” seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda,’ dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al Farisi. Ia begitu paham bahwa cinta, betapapun besarnya, kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat paham akan arti persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullaah saw dengannya. Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya. “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari] [] Sumber Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah SAW karya Khalid Muhammad KhalidDiponegoro Bandung
kisah salman al farisi dan abu darda